Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan
terjemahan dari kata transfer. Sedangkan kata transfer berasal dari bahasa
latin transfere yang berarti jarak lintas (trans,
accross) dan ferre yang berarti memuat (besar). Kata alih atau pengalihan
banyak dipakai para ahli dalam berbagai tulisan, walaupun adapula yang
menggunakan istilah lain,
seperti “pemindahan” yang diartikan sebagai
pemindahan sesuatu dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan pengoperan
atau penyerahan. Pendapat inilah yang menekankan makna harfiahnya, pendapat
lain dengan istilah “pelimpahan” sedangkan para ahli menghendaki makna
esensinya dengan memperhatikan insir adaptasi, asimilasi, desiminasi atau
difusikannya obyek yang ditransfer (teknologi). Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 definisi alih teknologi dikemukakan
sebagai berikut:
“ Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan
dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang,
baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar
negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.”
2.
Konsep Alih Teknologi
Secara sederhana bahwa konsep alih teknologi dapat
diartikan sebagai salah satu cara untuk memperoleh kemampuan teknologi dan
saluran yang dapat dipakai juga bermacam-macam. Seperti, alih teknologi dapat
dilakukan dengan cara penanaman modal asing, memalui berbagai perjanjian
bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga ahli, melalui
buku-buku, dan sebagainya.
Konsep alih teknologi dipahami secara berbeda-beda,
seperti juga konsep kemampuan teknologi. Santikar (1981) menunjukkan bahwa ada
empat macam konsep alih teknologi, dimana masing-masing konsep membutuhkan
kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi yang berbeda-beda. Keempat konsep
alih teknologi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Alih teknologi
secara geografis
Konsep ini menganggap
alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah dapat digunakan di
tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber masukan sama sekali tidak
diperhatikan.
2) Alih teknologi
kepada tenaga kerja lokal
Dalam konsep ini, alih
teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menangani teknologi impor
dengan efisien, yaitu jika mereka telah dapat menjalankan mesin-mesin,
menyiapkan skema masukan dan keluaran, dan merencanakan penjualan.
3) Transmisi atau difusi teknologi
Dalam konsep
ini, alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit produktif
lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-contracting atau usaha-usaha
diseminasi lainnya.
4) Pengembangan dan adaptasi teknologi
Dalam konsep
ini, alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang telah memahami
teknologi tersebut mulai mengadaptasinya untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat
ataupun dapat memodifikasinya untuk berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus
tertentu yang dianggap berhasil, tenaga kerja lokal dapat mengembangkan
teknik-teknik baru berdasarkan teknologi impor tadi.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut dapat disimpulkan
bahwa kemampuan teknologi masyarakat mencapai taraf optimal, jika alih
teknologi sudah sampai pada konsep yang keempat, yang dikenal dengan istilah reverse engineering. Untuk
kasus-kasus negara berkembang, seperti Indonesia dengan menyadari adanya berbagai
keterbatasan maka alih teknologi dapat dikatakan berhasil jika konsep yang
ketiga bisa dicapai, yaitu adanya transmisi atau difusi teknologi.
Jika dilihat prosesnya, alih teknologi dapat dilihat
sebagai suatu proses yang dimulai sejak dari kontak awal penerima dengan
pemilik teknologi, dilanjutkan dengan negosiasi terutama untuk mengatasi
berbagai hambatan yang disebabkan oleh perbedaan sosial budaya antara pemilik
dan penerima teknologi, kemudian tahap implementasi, serta proses umpan balik
dan pertukaran yang terjadi terus-menerus, sampai hubungan antara pemilik dan
penerima teknologi baru terputus.
Oleh karena itu, diperlukan pula jaringan alih teknologi
baik secara intrainstitusional maupun interinstitusional. Jaringan tersebut
dimaksudkan untuk membentuk dinamika belajar (dynamic learning) melalui
belajar sambil bekerja (learning by doing), belajar sambil
memakai (learning by using), dan belajar sambil
saling berhubungan (learning by interacting). Kesemuanya itu
merupakan jalur cepat berikutnya untuk meningkatkan produktivitas ke arah
standar yang lebih tinggi secara terus-menerus.
Cara lain untuk alih teknologi adalah melalui inovasi
terus-menerus (continious innovation) dalam hal produk dan
proses produksi. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana membentuk sistem
intrainstitusi dan interinstitusi yang dibutuhkan sehingga dapat tercipta learning by
interacting dalam setiap kegiatan ekonomi yang mampu menghasilkan
perubahan inkremental dalam produk maupun proses produksi, betapapun kecilnya perubahan
tersebut.
3.
Peranan
Teknologi dan Permasalahannya
Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi dimensi
baru dalam persaingan internasional yang berkaitan erat dengan laju
perkembangan teknologi yang makin pesat dan persaingan industri yang makin
tajam. Perkembangan teknologi (technological progress) telah disadari mampu
memberikan keuntungan ekonomi, sehingga negara-negara berkembang berusaha untuk
mengembangkan potensinya untuk menyerap, mengadakan dan mengimplementasikan
teknologi.
Betapa pentingnya peranan teknologi dalam perjalanan
suatu bangsa ditunjukkan oleh keberhasilan industrialisasi di negara-negara
maju dan NIEs (Newly Industrializing
Economics). Dalam kasus NIEs, seperti Korea Selatan, Taiwan atau Singapura,
keberhasilan mereka dalam beralih dari strategi industrialisasi yang
berorientasi ekspor dengan mengandalkan pada produk akhir dan padat karya ke
produk-produk yang lebih canggih, berlangsung sejalan dengan peningkatan
kapabilitas teknologi yang terarah serta dengan landasan yang kokoh dan lebih
merata (Pangestu dan Basri, 1995).
Pengalaman di beberapa negara juga menunjukkan bahwa
peningkatan kapabilitas teknologi berlangsung secara bertahap. Pengertian
bertahap di sini lebih mengacu pada kematangan dalam menjalani setiap tahap, yang
sekaligus menjamin kesiapan dan landasan yang kokoh untuk memasuki tahapan
lebih lanjut. Salah satu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan Social Absorption Capacity dari suatu
bangsa atau masyarakat menghadapi proses transformasi yang meliputi antara
lain, aspek sosiokultural, kesiapan sumber daya manusia, aspek kelembagaan, dan
kesiapan birokrasi (Pangestu dan Basri, 1995; Sutrisno, 1994; Thee, Jusmaliani
dan Indrawati, 1995). Faktor lainnya adalah kesiapan infrastruktur dalam arti
yang luas, meliputi tidak hanya infrastruktur fisik melainkan juga
infrastruktur pemasaran, infrastruktur kuangan, kapabilitas informasi,
kapabilitas teknologi, dan sebagainya.
Kebijakan pemerintah Indonesia juga mengindikasikan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk menumbuhkan daya saing
bangsa dalam memproduksi barang dan jasa, yang berbasis sumber daya lokal, yang
pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
secara nyata dan berkelanjutan (sustainable).
Hal tersebut antara lain tercermin dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, dimana
pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dilakukan
melalui empat program nasional, yaitu Iptek dalam dunia usaha, diseminasi
informasi iptek, peningkatan sumber daya Iptek, serta kemandirian dan
keunggulan Iptek.
Komitmen tersebut diperkuat dengan disahkannya
Undang-Undang No. 18 Tahun 2002, tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas IPTEK).
Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal, yaitu
sebagai berikut:
1.
Upaya penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu
pengetahuan dan teknologi strategis, serta peningkatan kapasitas penelitian dan
pengembangan.
2.
Penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya,
yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi, untuk
meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi.
4.
Penguatan tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persoalannya kemudian adalah sampai saat ini masih banyak
kegiatan produktif masyarakat yang memerlukan dukungan iptek, baik yang berskala
kecil, menengah atau besar, belum bisa dipenuhi secara optimal. Operasional
lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah (seperti LIPI, BPPT, BATAN,
LAPAN, LEN dan lain-lain), perguruan tinggi (seperti ITB, UI, UGM, UNPAD,dan
lain-lain), maupun industri atau perusahaan swasta memang sudah lama berjalan,
tetapi belum menunjukkan peran dan fungsi yang optimal dalam mengembangkan dan
memanfaatkan teknologi bagi aktivitas pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya kondisi seperti itu, antara lain:
1)
Pertama, alih
teknologi tidak berjalan lancar dan lebih terbatas pada kemampuan operasional
karena lemahnya pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut menyebabkan
terbatasnya: kemampuan memperoleh dan mengalihkan teknologi yang telah dipilih,
kemampuan menyesuaikan (mengadaptasi) teknologi tersebut sesuai dengan keadaan
setempat, dan kemampuan melatih masyarakat dalam penggunaan teknologi tersebut.
2)
Kedua, kegiatan
penelitian dan pengembangan dalam arti yang sebenarnya tidak atau sangat
sedikit dilakukan, yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan inovatif berbagai
lembaga litbang baik pemerintah, perguruan tinggi maupun industri. Sebagai
contoh, kegiatan litbang industri (perusahaan manufaktur) pada umumnya terbatas
pada kegiatan uji coba bahan baku atau pengendalian mutu, dan tidak
memperhatikan perubahan–perubahan pada sisi permintaan atau pasar.
3)
Ketiga, kemampuan
teknologi berbagai lembaga litbang sebagian besar baru terbatas pada kemampuan
investasi, produksi dan beberapa perubahan kecil, sedangkan kemampuan pemasaran
masih sangat lemah atau hampir tidak ada. Hal tersebut menyebabkan
produk-produk yang dihasilkan lembaga litbang tidak populer di masyarakat. Kondisi
ini diperparah dengan faktor keempat, yaitu tidak adanya keterkaitan yang jelas
antara berbagai lembaga litbang serta antara berbagai kelompok potensial dalam
masyarakat dapat dimanfaatkan sebagai unit antara (intermediate institution),
yang dapat berperan dan berfungsi strategis dalam menjembatani kebutuhan dan
tuntutan konsumen atau pasar dengan keberadaan dan kemampuan lembaga litbang
sebagai produsen iptek.
Dalam hal diseminasi iptek hasil litbang, keberadaan
unit-unit antara (intermediate institution), seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), suplier swasta, instansi teknis terkait, ataupun konsorsium yang
dibentuk oleh msyarakat, pemerintah dan swasta, sangat penting dan berguna baik
sebagai unit teknis praktis maupun sebagai fasilitator. Dengan kata lain,
unit-unit antara mempunyai peran dan fungsi yang strategis dan potensial dalam
membantu proses diseminasi iptek hasil litbang secara aktual dan berkelanjutan.
Dengan pendekatan matching programme antara simpul-simpul iptek dan unit-unit
bisnis diharapkan muncul sinergi baru, yang dapat meningkatkan akselerasi
aliran (diseminasi) iptek, serta terjadinya solusi terarah (focusing solution)
kepada persoalan langsung kebutuhan pengguna dan penghasil iptek.
4.
Pengaturan Alih Teknologi secara
Internasional dan Nasional
1) Pengaturan pada TRIPs
Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8,
dapat ditafsirkan bahwa persoalan alih teknologi menjadi perhatian utama dalam
TRIPs. Ketentuan pasal 7 secara tegas mengatakan pentingnya alih teknologi bagi
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dari negara peserta TRIPs. Pasal 8
lalu, menekankan pada perlunya
perlindungan pada kesejahteraan masyarakat dan gizi, serta untuk menggalakkan
sektor-sektor yang vital untuk kepentingan publik, yang dilaksanakan dalam
rangka pengembangan teknologi dan sosio ekonomis negara peserta TRIPs.
2)
Pengaturan
pada Ketentuan Hukum di Indonesia
Ketentuan mengenai alih
teknologi lebih jauh terdapat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 29 juli 2002 tersebut
menyatakan bahwa alih teknologi merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badán, atau orang, baik
yang berada di lingkungan dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri ke
dalam negeri dan sebaliknya.
Terkait
dengan alih teknologi dalam lingkup HAKI,
Pasal 17 menyebutkan bahwa kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua
unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih
teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam
kehidupan masyarakat ilmiah internasional. Ketentuan ini lantas dipertegas
melalui pasal 23 yang menyatakan bahwa Pemerintah menjamin perlindungan bagi HAKI yang dimiliki oleh perseorangan atau
lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang
No. 14 Tahun 2001 tidak secara eksplisit menyatakan perlunya alih teknologi.
Meskipun begitu, keberadaan ketentuan mengenai lisensi paten dalam
undang-undang ini secara tidak langsung telah mengamanatkan upaya alih
teknologi melalui pemberian lisensi paten.
5.
Ketentuan dan Syarat pada Alih Teknologi
Penyerahan
suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee perlu
ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak, karena dalam ketentuan
dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen hukum yang diperjanjikan.
Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan yang diharapkan) dan
kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan seimbang dan adil. Diantara
berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Eksklusifitas atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan
lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi
lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan
pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang
non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
2) Pembatasan jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak
diberikan tanpa batas, dan pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai
cara. Cara-cara tersebut diantaranya:
a. Lisencee dapat menerima hak know how untuk
memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk yang
bersangkutan.
b. Lisencee dapat menerima hak know how untuk
memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan kepada Licensee lain
guna memasarkannya.
c. Lisencee hanya mendapatkan hak untuk
menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
Lisencee tergantung dari
keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk mengembangkan, hak untuk
memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.
Sumber:
2. http://wsmulyana.wordpress.com/tag/alih-teknologi/