1. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak (peranannya sebagai pusat pengaturan segala
kegiatan fisik dan psikologis), hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio
manusia yang menalar, hasil kerjaannya itu berupa benda immateril (benda yang
tidak berwujud). Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai
intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai
orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional
dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil
pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang bergabung dalam kelompok
ini disebut kaum intelektual.
Hak
kekayaan intelektual diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdata yang
merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda di sana terdapat
pengaturan tentang hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak
benda materil dan immaterial. Pembahasan terletak pada hak benda immateril,
yang dalam perpustakaan hukum sering disebut dengan istilah hak milik
intelektual atau hak atas kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) yang terdiri dari Copy Rights (Hak Cipta) dan Industrial Property Rights (Hak Kekayaan
Industrian).
1.1. Sejarah Perkembangan
Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Secara
historis, peraturan perundang-undangan di bidang HAKI di Indonesia telah ada
sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang
pertama mengenai perlindungan HAKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah
Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan
UU Hak Cipta pada tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi
angota Paris Convention for the
Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai
dengan 1936, dan anggota Berne Convention
for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada
zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HAKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun
tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah
Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda,
permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun
pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI
mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama
yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4,
yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan
Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan
sementara permintaan paten luar negeri.
Lalu, pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah
RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai
berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat
dari barang-barang tiruan atau bajakan.
Sedangkan pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia
meratifikasi Konvensi Paris Convention
for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24
tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh
karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,
yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah
mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak
Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang
karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan
bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era
modern sistem HAKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI
membentuk sebuah tim khusus di bidang HAKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim
ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup
penyusunan kebijakan nasional di bidang HAKI, perancangan peraturan
perundang-undangan di bidang HAKI dan sosialisasi sistem HAKI di kalangan
intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI
mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982
tentang Hak Cipta. Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32
ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM)
untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang
merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
Lalu, pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI
menandatangani Final Act Embodying the
Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang
mencakup Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS). Tahun 1997
Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI,
yaitu UU Hak Cipta tahun 1987. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten tahun 1989 dan UU
Merek tahun 1992.
Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru
dibidang HAKI, yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No.
31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dan tentang
Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama akan berlaku efektif satu tahun sejak
di undangkannya.
2. Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak
khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia). Hal ini menunjukkan bahwa hak
cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya
namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak
cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang
mengganggu atau yang menggunakankannya tidak dengan cara yang diperkenankan
oleh aturan hukum.
Hak cipta merukan hak
eklusif yang member arti bahwa selain pencipta, maka orang lain tidak berhak
atasnya, kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara
penyerahan nyata, karena hak cipta mempunyai sifat manuggal dengan penciptanya
dan bersifat tidak berwujud videnya penjelasan pada pasal 4 ayat 1 UHC Indonesia.
Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan,
karena jika digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke
tangan kreditur.
2.1. Istilah-istilah dalam Hak Cipta
2.1.1.
Pencipta
Pencipta adalah seorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, cekatan, ketrampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat.
2.1.2.
Pemegang Hak Cipta
Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta,
atau orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang
menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas.
2.1.3.
Ciptaan
Hasil setiap karya Pencipta dalam
bentuk yang khas dan menunjukkan keasliaannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra.
2.2. Sejarah
Hak Cipta di Indonesia
Pada
tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi
Bern, agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan
karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada
tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta
berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan
menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12
Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang
kini berlaku.
Perubahan
undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan
antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade
Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights atau TRIPs (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi
kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga
meratifikasi World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) melalui Keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 1972.
2.3. Undang-Undang Hak Cipta
Undang-undang hak cipta yang berlaku di Indonesia adalah UU
No. 19 tahun 2002, yang sebelumnya UU ini berawal dari UU No. 6 tahun 1982
menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai
upaya pemerintah untuk rombak sistem hukum yang ditinggalkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda kepada suatu sistem hukum yang dijiwai falsafah Negara
Indonesia, yaitu Pancasila.
Pekerjaan membuat satu perangkat materi hukum yang sesuai
dengan hukum yang diciptakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Undang-Undang
hak cipta tahun 1982 yang diperbaharui dengan UU No. 7 tahun 1987 dan
diperbaharui lagi dengan UU No. 12 tahun 1997, terakhir dengan UU No. 19 tahun
2002.
Batasan-batasan yang dilindungi sebagai hak cipta,
dijelaskan pada rumusan pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia pada
ayat 1, yaitu sebagai berikut.
Dalam Undang-Undang ini ciptaan yang dilindungi adalah
ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup:
a)
Buku, program computer, pamphlet,
susunan perwajahan (layout), karya
tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b)
Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan
lain yang sejenis dengan itu.
c)
Alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d)
Lagu atau music dengan atau tanpa teks.
e)
Drama atau drama musical, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim.
f)
Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni
lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan
seni terapan.
g)
Arsitektur.
h)
Peta.
i)
Seni batik.
j)
Fotografi.
k)
Sinematografi.
l)
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai, database, dan karya lainnya dari hasil pengalih wujudan.
3. Hak Paten
Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang
untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak Paten
tersebut terdapat pada UU No. 14 tahun 2001, pasal 1 ayat 1.
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor yang
terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah
sebagai berikut:
1)
Invensi adalah ide
Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang
spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU No. 14 tahun 2001, pasal
1 ayat 2).
2)
Inventor adalah seorang
yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan
ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU No. 14
tahun 2001, pasal 1 ayat 3).
Kata paten sendiri berasal dari bahasa inggris
patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk
pemeriksaan publik) dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat
keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada
individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri,
konsep hak paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan
masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode
tertentu. Mengingat pemberian hak paten tidak mengatur siapa yang harus
melakukan invensi yang dipatenkan, maka sistem hak paten tidak dianggap sebagai
hak monopoli.
4. Hak Merk
Merk merupakan tanda berupa gambar, nama, kata,
huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dengan merek lain untuk produk sejenis, digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sedangkan Hak Merk adalah hak khusus yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi
izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
4.1.
Fungsi Merk
Merk memiliki
beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Sebagai tanda
pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau badan
hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lain.
2)
Membedakan suatu
produk dengan produk lainnya (jati diri produk).
3)
Menentukan mutu
atau kualitas produk.
4)
Sebagai alat atau
media promosi suatu produk.
4.2.
Jenis-Jenis Merk
1)
Merek Dagang
Merek dagang adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya.
2)
Merek Jasa
Merek jasa adalah merek
yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
3)
Merek Kolektif
Merek kolektif adalah
merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang dan atau jasa sejenis lainnya.
4.3.
Citra Merk
Citra Merk adalah gambaran mental subjektif tentang merk
yang sama-sama dianut oleh sekelompok orang. Komponen-komponen citra merk,yaitu
sebagai berikut:
1)
Konten yaitu menjelaskan
apakah konten dari suatu merk kuno atau modern.
2)
Favorabilitas
yaitu menjelaskan kegemaran konsumen terhadap produk tersebut positif atau
negatif.
3)
Kekuatan yaitu
menjelaskan sejauh mana asosiasi dirasa positif atau negatif.
4.4.
Merek
merupakan kekayaan industri yang termasuk kekayaan intelektual
Secara
konvensional
bahwa merek dapat berupa nama, kata, frasa, logo,
lambang, desain, gambar, atau kombinasi dua atau lebih unsur tersebut. Di
Indonesia, hak merek dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Jangka waktu perlindungan untuk merek adalah sepuluh tahun dan berlaku surut
sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan dan dapat diperpanjang
selama merek tetap digunakan dalam perdagangan.
4.5.
Hal-Hal yang Menyebabkan Suatu
Merek Tidak Dapat di Daftarkan
1)
Didaftarkan oleh pemohon
yang tidak beritikad baik.
2)
Bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
3)
Tidak memiliki daya
pembeda.
4)
Telah menjadi milik umum.
5)
Merupakan keterangan atau
berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. (Pasal 4 dan
Pasal 5 UU Merek).
Sumber:
1. Saidin, H. OK. S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Edisi Revisi 6, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar